Hampir sebagian besar peninggalan Perang Dunia Kedua terdapat di tanah Papua khususnya di Pulau Biak Numfor, Kabupaten Biak Numfor Provinsi Papua. Bandara Internasional Frans Kaisiepo pun merupakan peninggalan perang. Namun yang selalu dikunjungi turis nusantara maupun Manca Negara di Biak, jelas Goa Jepang. Bagi masyarakat Kampung Ambroben Sub mereka menyebut goa Jepang dengan nama Abyab Binsari. Abyab dalam bahasa Byak artinya goa dan Bin sari artinya nenek yang menemukan goa itu.
Menurut cerita masyarakat Kampung Ambroben sejak dahulu seorang nenek tua yang membuat kebun di sekitar lokasi itu, suatu ketika ia merasa haus dan berjalan memasuki lorong goa gelap. Tanpa disengaja ia berjalan masuk ke dalam mulut goa dan menemukan air yang menetes jatuh dalam batuan stalagnit. Si nenek lalu meminum air yang terdapat dalam goa itu. Saat itu setiap kali ia bekerja dan membersihkan kebun si nenek selalu duduk beristirahat dalam goa sehingga masyarakat di Kampung Ambroben Sub menyebut nama goa itu Bin Sari yang artinya goa nenek tua atau nenek yang menemukan goa itu.
Goa yang letaknya di sekitar Kampung Ambroben Distrik Biak Timur kini lebih popular dengan nama goa Jepang karena sejak Perang Dunia Kedua tentara Jepang memakainya sebagai tempat persembunyian dan benteng pertahanan. Dalam peperangan di Biak tentara sekutu sulit menaklukan pertahanan mereka di Biak.
Ketika perang dunia kedua sekitar tahun 1942 di Biak terdapat sebanyak 10.400 serdadu Jepang yang bertahan di pulau itu. Kolonel Kuzume Naoyuki yang memimpin anak buahnya menggunakan goa itu sebagai benteng pertahanan dan bersembunyi di lokasi goa Binsari. Di dalam goa Binsari tercatat ada 250 serdadu Jepang yang mati terbakar, setelah dijatuhi 850 pon TNT karena tantara AS menuangkan minyak ke dalam mulut goa. Letjend Roberth L Eichelberger dalam bukunya berjudul Jungle Road to Tokyo mengatakan, "Ketika kami memasuki goa-goa itu aroma bau mayat yang menyengat menyambut kami. Rupanya peluru, granat, gasoline dan TNT telah melakukan tugasnya dengan baik." Kini sisa-sisa kekejaman Perang Dunia Kedua bisa terekam jelas dalam Goa Jepang di Biak. Peluru dan senjata tertata rapih dalam museum di pintu masuk goa begitu pula dengan monumen Jepang di sekitar Goa Jepang.
Selain goa Jepang di Kampung Ambroben Sub ada pula goa lain dekat Kali Ruar di jalan raya menuju Biak Bosnik tepatnya Kampung Rim. Paulus Kafiar pengelola goa Jepang lima kamar di Kampung Rim menuturkan seorang turis asal Amerika pernah memprotes pemberian nama goa Jepang. Pasalnya kata Paulus kalau goa itu tidak ada di sini dan tentara Jepang membawa langsung dari Jepang baru bisa dinamakan goa Jepang karena itu sebaiknya memakai bahasa daerah. Akhirnya disebut goa lima kamar atau dalam bahasa Biak disebut Abyab Sim Di Rim.
Goa lima kamar panjangnya sekitar 18 meter dan berbentuk huruf L lalu menjorok ke atas seperti huruf U. Kamar pertama terdapat kerangka serdadu Jepang tetapi sudah dikembalikan ke Jepang dan terdapat pula masker-masker seperti biasa dipakai dalam olahraga anggar. Orang Jepang menyebut masker itu Kendo. Kamar kedua ditemukan botol-botol bekas obat, thermometer, sample-sampel darah, kaca pemeriksa darah. Kamar ketiga tepat berada di bawah jalan raya Bosnik. Kamar ketiga terdapat air tawar dan tentara Jepang memakai ruang ini sebagai kamar mandi. Terbukti di dalam kamar ketiga ini ditemukan sikat gigi, tempat menyimpan sabun mandi yang terbuat dari kulit penyu. Kamar keempat merupakan ruang dokumenter atau kantor sebab tersimpan busur derajat, penjepit kertas dan kamera. Sedangkan ruang kelima untuk tempat memantau dan mengintai ke luar.
Penerangan dalam goa tentara Jepang menggunakan getah kayu dammar sebagai lilin. Terbukti dalam kamar-kamar goa terdapat getah dammar. Terlepas dari kekejaman perang, sebenarnya goa-goa sisa pertempuran di Biak bisa menjadi saksi bisu yang mengatakan bahwa perang adalah kesia-siaan.
Oleh : Dominggus A Mampioper
[Kabar Indonesia]
»»
Goa Jepang di Biak
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Berikan komentar anda mengenai posting ini..!!