»»


Perolehan Suara Sementara Pilkada Kabupaten Supiori 2020: Nomor urut 1 Obeth Rumabar - Daud Marisan : 2.312 (12,9%) ●●● Nomor urut 2 Ruth Naomi Rumkabu - Piet Pariaribo: 3.646 (25,1%) ●●● Nomor urut 3 Jacobus Kawer - Salomo Rumbekwan : 1.189 (8,2%) ●●● Nomor urut 4 Ronny Gustaf Mamoribo - Albert : 2.856 (19,7%) ●●● Nomor urut 5 Yan Imbab - Nichodemus Ronsumbre : 4.507 (31,1%) || Update: 04:31wit / 11 Des 2020

Pemilihan Anggota MRP Diminta Distop

Sampai Ada Jawaban Konkrit Terhadap 11 Rekomendasi MRP kepada DPRP

Jayapura — Memperhatikan kegelisahan mendalam umat terhadap berbagai kekacauan yang timbul di dalam pelaksanaan Otsus, sebagaimana disuarakan secara terbuka dalam Musyawarah antara Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Masyarakat Asli Papua 9-10 Juni 2010 di Kantor MRP, Jayapura, beberapa pimpinan gereja di tanah Papua menyatakan sikap.

Antara lain mendesak Presiden Republik Indonesia, Gubernur Papua, Gubernur Papua Barat, Ketua DPR Provinsi Papua dan Ketua DPRD Provinsi Papua Barat segera menghentikan seluruh proses persiapan, penyelenggaraan seleksi MRP di Tanah Papua sampai ada jawaban konkrit terhadap 11 butir rekomendasi Musyawarah Besar MRP yang diserahkan ke DPRP Provinsi Papua pada tanggal 18 Juni 2010. Demikian hasil komunike bersama pimpinan gereja gereja di Tanah Papua tentang status Otsus Papua dan MRP yang ditandatangani pimpinan Gereja Gereja di Tanah Papua masing masing Ketua Sinode GKI di Tanah Papua Pdt. Jemima Krey STh, Ketua Sinode KINGMI di Tanah Papua Pdt. Benny Giay, Pdt. Socrates Sofyan Yoman MA serta Ketua Sinode Gereja Bethel Pentekosta di Tanah Papua Pdt. Tonny Infandi STh MA di Kantor Sinode GKI di Tanah Papua, Jayapura, Senin 10/1) kemarin. Pasalnya, Musyawarah yang difasilitasi oleh MRP sebagai lembaga representatif orang asli Papua merupakan forum resmi dan terhormat di dalam koridor perundang-undangan yang berlaku di dalam Negara Republik Indonesia. Dalam forum resmi tersebut, rakyat Papua telah memperdengarkan suara otentik mereka bahwa Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua telah gagal menciptakan kesejahteraan bagi orang asli Papua. Otsus gagal memberi pengakuan, perlindungan dan penegakkan terhadap hak-hak dasar orang asli Papua. Oleh karena itu, rakyat Papua telah mengembalikan Otsus ke Jakarta.

Hasil Musyawarah ini telah diantar dan diserahkan kepada pihak DPRP Provinsi Papua di Jayapura melalui aksi demonstrasi damai rakyat Papua pada tanggal 18 Juni 2010. Hasil yang sama telah pula diserahkan kepada DPRD Papua Barat di Manokwari, dimana rakyat telah menuntut agar lembaga DPRP dan DPRD mengadakan sidang paripurna sebagai mekanisme legislatif tertinggi untuk mensahkan hasil Musyawarah dan mengembalikan Otsus ke Jakarta. DPRP Provinsi Papua memberikan batas waktu sebulan untuk berkoordinasi dengan pimpinan dan anggota DPRP guna menanggapi aspirasi rakyat ini, tapi tak ada kemajuan sehingga belasan ribu rakyat kembali berdemonstrasi ke DPRP pada tanggal 8-9 Juli 2010.

Namun demikian, tambahnya, hingga saat ini belum ada langkah nyata yang dilakukan kedua lembaga dalam menyikapi tuntutan penting rakyat Papua ini. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di Provinsi Papua dan Papua Barat malah terkesan tak peduli dan terus melangkah maju dengan berbagai kebijakan terkait Otsus yang sebenarnya sudah dinilai gagal oleh rakyat Papua; suatu sikap yang sesungguhnya bertentangan dengan aspirasi rakyat Papua, mencerminkan tiadanya kemauan baik dan tanggung jawab moral serta politik pemerintah pusat dan pemerintah daerah di Tanah Papua terhadap aspirasi rakyat Papua.

Kondisi di atas makin diperparah dengan proses pembentukan MRP saat ini yang cenderung tergesa-gesa dan dipaksakan oleh pemerintah sendiri. Padahal MRP merupakan ‘jantung’ dari Otsus yang sudah ditolak oleh rakyat Papua.

Hal ini nampak dari sosialisasi yang tak merata ke seluruh Rakyat Asli Papua, tim sosialisasi MRP itu sendiri tak berkompeten karena tidak melibatkan unsur perguruan tinggi negeri dan gereja di Papua yang sejak awal terlibat merancang UU Otsus dan memahami dengan baik roh dasar lahirnya Otsus.
Bahkan terkesan adanya intervensi pemerintah yang berlebihan yang dalam hal ini dilakukan melalui Badan Kesatuan Bangsa Provinsi Papua yang berpotensi hanya menciptakan ‘MRP Boneka’ (Draft Perdasus Pemilihan dari MRP dan DPRP Papua tidak diakomodir) yang tidak akan mampu melakukan pemihakan, perlindungan dan menegakkan hak-hak dasar Rakyat Asli Papua.

Sebagai pemimpin gereja, pihaknya menilai upaya pemaksaan pembentukan MRP oleh pemerintah saat ini, merupakan tindakan yang sangat melecehkan harga diri orang asli Papua.
Karena itu, komunike bersama pimpinan gereja gereja di Tanah Papua tentang status Otsus Papua dan MRP menyatakan sikap sebagai berikut.

Pertama, kami menghormati seluruh aspirasi umat yang adalah rakyat asli Papua yang dinyatakan dalam Musyawarah antara Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Rakyat Asli Papua pada tanggal 9-10 Juni 2010, bertempat di Kantor MRP di Jayapura, Otsus Papua telah gagal dan dikembalikan kepada Pemerintah Republik Indonesia.

Kedua, guna menghormati aspirasi tersebut, maka kami mendesak Presiden Republik Indonesia, Gubernur Papua, Gubernur Papua Barat, Ketua DPRP Provinsi Papua dan Ketua DPRD Provinsi Papua Barat untuk segera menghentikan seluruh proses persiapan, penyelenggaraan seleksi MRP di Tanah Papua hingga sebelum adanya jawaban konkrit terhadap hasil Musyawarah MRP dimaksud yang diserahkan ke DPRP Provinsi Papua pada tanggal 18 Juni 2010.

Ketiga, kami meminta Gubernur Papua, Gubernur Papua Barat, Ketua DPRP Provinsi Papua dan Ketua DPRD Provinsi Papua Barat agar tak meremehkan aspirasi rakyat Papua, tapi segera duduk bersama masyarakat Papua, membicarakan secara menyeluruh aspirasi penolakan Otsus oleh rakyat Papua secara jujur, adil, demokratis dan bermartabat.

Keempat, kami mendesak Pemerintah RI untuk segera melakukan dialog dengan rakyat Papua guna menyelesaikan ketidakpastian hukum dan politik di TanahPapua yang menjadi akar dari konflik yang berkepanjangan dan telah menyengsarakan umat Tuhan yang kami pimpin di Tanah ini.

Kelima, kami menolak upaya-upaya, rumusan-rumusan atau istilah-istilah apapun yang bertujuan mengaburkan dan mengacaukan adanya tuntutan dialog antara rakyat Papua dan Pemerintah Republik Indonesia yang sudah sejak lama disuarakan rakyat Papua.

Keenam, kami meminta Pemerintah RI untuk menghentikan segala bentuk intimidasi, teror dan pola-pola pendekatan represif lainnya yang bertujuan untuk membungkam suara-suara kritis dari umat kami terhadap kebijakan-kebijakan politik pembangunan di Tanah Papua yang tak memihak kepentingan rakyat banyak. [mdc/don/03/BinPa]

0 komentar:

Posting Komentar

Berikan komentar anda mengenai posting ini..!!