»»


Perolehan Suara Sementara Pilkada Kabupaten Supiori 2020: Nomor urut 1 Obeth Rumabar - Daud Marisan : 2.312 (12,9%) ●●● Nomor urut 2 Ruth Naomi Rumkabu - Piet Pariaribo: 3.646 (25,1%) ●●● Nomor urut 3 Jacobus Kawer - Salomo Rumbekwan : 1.189 (8,2%) ●●● Nomor urut 4 Ronny Gustaf Mamoribo - Albert : 2.856 (19,7%) ●●● Nomor urut 5 Yan Imbab - Nichodemus Ronsumbre : 4.507 (31,1%) || Update: 04:31wit / 11 Des 2020

Ketidakkonsistenan Regulasi Timbulkan Problema Bagi Pilgub Papua Barat

Jakarta - Ketidakkonsistenan regulasi antara UU Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua dan UU Nomor 22 tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu menimbulkan problema dalam pelaksanaan pemilihan gubernur Papua Barat.

Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), Endang Sulastri, mengatakan terkait pemilihan gubernur Papua Barat memang ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu UU No 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua yang memuat dua persyaratan berbeda dengan yang diatur dalam UU 22/2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu.

Dalam UU Otsus disebutkan calon gubernur harus orang asli Papua dan ketentuan pasangan calon harus memiliki latar pendidikan S1. “Dalam pasal 7 ayat 1 UU 21/2001 itu Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) memang memiliki kewenangan memilih gubernur, tapi dalam UU 35/2008 sebagai perubahan atas UU Nomor 21/2001, ketentuan pasal 7 ayat 1 itu kan dicabut,” katanya kepada wartawan di Jakarta, Senin (21/3).
Dengan begitu, terangnya, DPRP tidak memiliki kewenangan lagi untuk melakukan pemilihan gubernur. Namun, tambah Endang, persoalan lainnya adalah penghapusan pasal itu tidak dikuti dengan pencabutan pasal 11 ayat 1 UU Nomor 21/2001 yang mengatur pilgub diatur dengan perdasus. “Harusnya itu juga dicabut, makanya DPRP disana memang menginginkan pengunaan perdasus dalam pelaksanaan pilkadanya,” ujar Endang.

Ia menuturkan sebelumnya pasal 7 ayat 1 UU Otsus sempat diujimateriil di Mahkamah Konstitusi (MK), namun ditolak sehingga DPRD tidak memiliki kewenangan lagi melakukan pemilihan gubernur. Endang memaparkan jika ditilik lebih lanjut pertimbangan MK dalam menolak uji materiil dikarenakan menilai kekhususan dalam hal pilkada bagi papua adalah persyaratan calon, bukan tata cara dan mekanismenya. “Jadi ya pencalonan tetap harus mengacu pada UU Nomor 22/2007 tentang penyelenggaraan pemilu,” tukasnya.

Ia mengakui saat ini ada perbedaan interpretasi antara KPU provinsi dan DPRD Papua Barat. Untuk itu, ungkap Endang, pihaknya akan berkoordinasi dengan para pemangku kepentingan untuk menyelesaikan masalah tersebut, termasuk dengan kementerian terkait. “Kita akan coba mencari titik temunya, kita akan coba urai peran apa nantinya yang bisa di jalankan oleh DPRP. Misalnya, DPRP memiliki kewenangan untuk memverifikasi syarat orang asli. Sedangkan untuk pendaftaran verifikasi persyaratan umumnya akan tetap dilakukan KPU,” papar Endang.

Pihaknya mengkhawatirkan jika harus menunggu perdasus, maka pelaksanaan pemilihan gubernur Papua Barat akan molor karena KPU seharusnya menyelenggarakan pemilu paling lambat satu bulan sebelum masa akhir jabatan gubernur.
DPRD dan KPU Provinsi sama-sama membuka pendaftaran pasangan calon gubernur Papua Barat. DPRD menggunakan acuan aturan yang terdapat dalam PP Nomor 6 tahun 2005 yang merupakan turunan dari UU No 32 tahun 2004. PP tersebut menyebutkan DPRP membuka pendaftaran calon gubernur, sementara tahapan selanjutnya hingga penetapan dilakukan KPUD. [yogie respati/Republika.co.id]

0 komentar:

Posting Komentar

Berikan komentar anda mengenai posting ini..!!