»»


Perolehan Suara Sementara Pilkada Kabupaten Supiori 2020: Nomor urut 1 Obeth Rumabar - Daud Marisan : 2.312 (12,9%) ●●● Nomor urut 2 Ruth Naomi Rumkabu - Piet Pariaribo: 3.646 (25,1%) ●●● Nomor urut 3 Jacobus Kawer - Salomo Rumbekwan : 1.189 (8,2%) ●●● Nomor urut 4 Ronny Gustaf Mamoribo - Albert : 2.856 (19,7%) ●●● Nomor urut 5 Yan Imbab - Nichodemus Ronsumbre : 4.507 (31,1%) || Update: 04:31wit / 11 Des 2020

Rumuskan Konsep Menuju Copenhagen

Jayapura - Konferensi Keanekaragaman Hayati Internasional yang berlangsung di Sasana Karya Kantor Gubernur Papua, Kamis (12/11) kemarin, membahas sejumlah hal pokok, yang kaitannya dengan keaneragaman hayati. Baik itu menyangkut wilayah-wilayah yang patut mendapatkan perhatian serius untuk penanganannya seperti bagian Selatan Mimika, Mappi dan daerah lainnya yang saat ini terjadi eksploitasi besar-besaran sumber daya hayati, sebagaimana yang diungkapkan oleh peneliti dari Conservation International Ecology, terhadap Biogeography and Environment of Papua.

Tapi di sisi lain, juga dipaparkan tentang ada kemajuan-kemajuan yang patut disyukuri karena adanya berbagai upaya-upaya perlindungan, baik baik dilakukan pemerintah atau masyarakat, misalnya ada penambahan hutan mangrove (bakau) di Timika dan sejumlah daerah lainnya.

Sementara itu, dalam keterangan persnya, Gubernur Provinsi Papua, Barnabas Suebu, SH, menjelaskan, konferensi ini adalah inisiatif dari Pemerintah Provinsi Papua sebagai bagian penting dari langkah untuk menuju konferensi di Copenhagen dan juga adanya penugasan Presiden SBY untuk membicarakan sesuatu langkah yang lebih konkrit, dalam rangka pelaksanaan dari konsep reduce emission from degradation and deforestation (REDD) di Indonesia khususnya di Papua, sebagai program dalam rangka menurunkan emisi yang menjadi kewajiban semua negara di dunia termasuk Indonesia.
"Papua sangat kaya dan unik dengan sumber daya hayatinya, oleh karena itu dalam konferensi ini bagaimana menghasilkan konsep yang ditawarkan sebagai bagian dari konsep nasional, tentang program REDD itu untuk menurunkan emisi di dunia khususnya di Papua ini," ungkapnya kepada wartawan di ruang rapat Gubernur Provinsi Papua, Kamis, (12/11).

Berikutnya, konferensi ini juga untuk memberikan kesadaran baru bagi semua komponen, bahwa nilai yang luar biasa ini, harus dijaga dan dipelihara, yakni hutan dan sumber daya alam hayatinya, karena bila menjaga dan memelihara dengan baik maka kehidupan akan berlangsung dengan baik.

Di sisi lain, bagaimana konferensi ini menghasilkan sesuatu untuk kesejahteraan rakyat miskin, bukan untuk konglomerat. Rakyat miskin di kampung-kampung yang adalah pemilik sah dari hutan itu sendiri. Maka dari itu perlu dilakukan konferensi yang nantinya memproteksi hak-hak masyarakat, seperti aturan, kelembagaan yang memberikan jaminan kepada masyarakat kecil.

"Konferensi internasional yang keanekaragaman hayati ini fokus pada hutan dan flora dan fauna yang begitu kaya, tapi juga di dalamnya ada nilai-nilai manusia, ada nilai-nilai budaya, dan sebagainya. Semuanya itu sudah kita lakukan, melalui dana Respek yang di dalamnya ada program untuk mengelola lingkungannya. Kami juga terus menanamkan kesadaran kepada masyarakat tentang betapa pentingnya memelihara kekayaan dan keunikan ini dan dikelola secara berkelanjutan," katanya.

"Bagaimana ada keberpihakan kepada masyarakat, dan perlindungan, ini yang harus dilakukan, tanpa itu masyarakat juga sendiri hancur, dan aspirasi naik terus. REDD untuk bagaimana dunia internasional turun dalam skema nasional, dan turun dalam tingkat provinsi, tapi juga turun langsung sampai tingkat kampung, dengan begitu masyarakat akan mengambil bagian dan kualitas hidupnya akan naik, pendapatan naik, dari tidak menebang pohon, tapi menanam pohon, kelola hutan dan keanekaragaman hayatinya secara berkelanjutan," sambungnya.

Dicontohkannya, misalnya, strategi untuk menurunkan emisi yang menjadi kewajiban semua negara pada Pegunungan Cycloop, dimana area Cyclop mulai dari Pasir Dua, Jayapura Utara dipagari, kemudian bagian atas gunung ditanami kembali pepohonan, sementara di bagian kaki gunung dan lereng gunungnya masyarakat difasilitas untuk melakukan penanaman pohon. Dengan begitu hutan kembali subur, dan masyarakat mendapatkan penghasilan dengan menanam dan memelihara pohon yang ditanamnya itu.

Untuk hutan adat yang menjadi hutan konservasi, hutan konvensi dan hutan lindung, kata Gubernur, khusus untuk hutan produksi dan hutan konvensi tidak digunakan semena-mena tapi digunakan secara berkelanjutan. Misalnya, hutan konversi Papua dan Papua Barat sekitar 8 juta hektar. Dan yang pakai hanya 1 juta hektar saja, sedangkan sisanya dijaga dan tidak boleh diganggu karena ada spesies-spesies yang harus dilindungi.

"Hutan ini nanti untuk orang di kampung, bahwa investor yang tidak membangun industri di kampung harus dicabut. Hutan yang dikelola secara berkelanjutan, pendapatan masyarakat kampung meningkat, dan pada saatnya kita kurangi tebangan, dan kebijakannya adalah tebang satu tanam 10 pohon. Dari dia tanam, dia juga harus dapat uang juga. Kami juga hati-hati sekali melihat investor masuk, karena jangan sampai merusak hutan," lanjutnya.
Kelanjutan pengelolaan hutan dan keanekaragaman hatayinya, kabupaten/kota harus tunduk dan taat pada aturan yang dibuat. Dan harus melaksanakan sesuai dengan amanat Perdasus kehutanan yang nantinya disahkan itu. Dan hukum harus ditegakkan.

Sementara itu, Rektor Universitas Papua, DR. Frans Wanggai, yang juga sebagai, pemateri pada konferensi itu, menandaskan, berbagai kajian telah dilakukan di seluruh Papua tentang sumber daya hayati yang di Papua, dan sudah banyak hasil penelitian yang direkomendasi telah disampaikan, namun pertanyaan yang mendasar adalah bagaimana mengelola sumber daya hayati ini dengan baik.
Menurutnya, pengelolaan sumber hayati itu dapat dilihat dari aspek lingkungan, juga dapat dilihat dari sumber daya hayati itu sendiri, dapat dilihat dari aspek ekonomi, dan yang tidak kalah penting adalah dilihat dari aspek sosial.

Mengenai aspek lingkungan, seharusnya memperhatikan kualitas tanah, air dan udara. Nah disini harus ada indikator yang jelas dalam pengelolaan itu sendiri. Kemudian aspek sumber daya hayati, bahwa harus dilihat dari keanekaragaman hayati yang tersebar di berbagai daerah di Tanah Papua, karena hayati ini sangat penting untuk melihat berapa banyak, tipe-tipe ekosistem yang perlu diatur keseimbangan ekosistemnya.

Demikian, juga sebaliknya aspek ekonomi dan aspek sosial. Misalnya, produksi kayu hutan jangan menghasilkan suatu nilai ekonomi yang dapat dirasakan sesaat, namun berkelanjutan. Juga pada aspek sosial, dimana di sini bagaimana peran serta masyarakat setempat, hak ulayat, hutan rakyat, ini yang patut dipertimbangkan dalam kebijakan pengelolaan. [nls/fud/Cepos]

0 komentar:

Posting Komentar

Berikan komentar anda mengenai posting ini..!!