Jayapura - Kawasan hutan Papua dan Papua Barat yang masih lestari dan berisi kayu merbau bernilai tinggi di pasar internasional masih tetap menarik perhatian mafia pembalakan liar. Kementerian Kehutanan akan menempatkan patroli udara untuk membantu pemerintah daerah mengawasi hutan dan mencegah pembalakan liar.
Demikian disampaikan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Kementerian Kehutanan Darori saat bertemu Sekretaris Daerah Provinsi Papua Constant Karma di Jayapura, Jumat (1/10). Turut hadir Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan R Iman Santoso, Direktur Jenderal Planologi Bambang Soepijanto, Direktur Konservasi Kawasan Sonny Partono, Kepala Pusat Informasi Kehutanan Masyhud, dan Kepala Dinas Kehutanan Papua Marthen Kayoi.
“Kami baru kembali dari China, kayu merbau yang merupakan khas Papua masih diperdagangkan di sana. Menteri Kehutanan sudah membuat kesepakatan dengan Pemerintah China untuk bersama-sama menghentikan perdagangan merbau ilegal dan kita akan memperkuat pengawasan di sini,” ujar Darori.
Kementerian Kehutanan menyewa helikopter sebanyak 1.000 jam untuk berpatroli di kawasan hutan di seluruh Indonesia. Papua akan mendapatkan prioritas karena tercatat sebagai salah satu pulau dengan kawasan hutan primer dalam kondisi baik, 24 juta hektar di antaranya masih berhutan dan 6,8 juta hektar tidak berhutan.
Dalam penerbangan dari Jayapura ke Timika, kami menyaksikan kelestarian hutan Bumi Cendrawasih dengan vegetasi yang masih rapat. Kayu merbau merupakan tanaman endemik pulau tersebut dan bernilai tinggi karena terkenal awet.
Harga kayu merbau domestik saat ini berkisar Rp 6,5 juta-Rp 7,5 juta per meter kubik bergantung kualitas kayu. Adapun di pasar internasional harganya jauh lebih mahal.
Dalam pertemuan yang mengawali kunjungan kerja pertama Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan ke Papua dan Papua Barat tersebut, Darori menyampaikan, Kementerian Kehutanan mengapresiasi keseriusan Pemerintah Provinsi Papua menjadi provinsi konservasi. “Menhut selalu menjadikan Papua sebagai contoh dalam setiap kesempatan karena komitmen Gubernur Barnabas Suebu untuk mempertahankan 70 persen wilayah Papua sebagai kawasan hutan dalam penyusunan tata ruang,” imbuh Darori.
Menanggapi hal itu, Constant berharap pemerintah pusat terus memberikan perhatian dan dukungan program untuk mendorong masyarakat memanfaatkan hasil hutan bukan kayu. Menurutnya, rakyat Papua masih mengandalkan hasil hutan langsung saat ini sehingga butuh proses pendampingan yang serius agar masyarakat lebih mengoptimalkan hasil hutan bukan kayu seperti madu, air, ekowisata, dan tanaman obat.
Darori mengungkapkan, Pemerintah Provinsi Papua bisa mengoptimalkan hasil hutan bukan kayu seperti getah tanaman gaharu. “China membutuhkan 5.000 ton gaharu setiap tahun dan Indonesia baru memasok 200.000 ton saja. Ini peluang,” jelasnya.
Iman menambahkan, Kementerian Kehutanan terus mendorong pengembangan hutan tanaman rakyat, hutan rakyat, dan hutan kemasyarakatan. Kebijakan ini merupakan bagian dari upaya pemerintah memperluas kesempatan rakyat mengakses hutan dan mendapatkan kesejahteraan dengan syarat ikut menjaga kelestarian hutan.
Terancam pemekaran
Namun, pembalakan liar bukan satu-satunya ancaman terhadap kawasan hutan Papua. Pemekaran wilayah seperti kabupaten atau distrik, yang merupakan keputusan politik, juga mengancam kelestarian hutan.
Dalam pertemuan itu. Sonny mengungkapkan ada sedikitnya 10 kabupaten hasil pemekaran di dalam kawasan Taman Nasional Lorentz. Kondisi ini juga terjadi di Suaka Margasatwa Memberano seluas 1,8 juta hektar yang dari tujuh kabupaten kini menjadi 11 kabupaten di dalam kawasan tersebut.
Menurut Sonny, TN Lorentz telah ditetapkan sebagai situs warisan dunia oleh Unesco. “Kami minta pemerintah daerah menata zonasi pengembangan wilayah dengan baik agar tidak merusak kawasan konservasi yang menjadi perhatian internasional ini,” pintanya.
Papua kini memiliki sedikitnya 32 kabupaten/kota dan jumlahnya diperkirakan akan terus bertambah. Bambang Soepijanto menjelaskan, revisi tata ruang akan bergantung pada hasil padu serasi.
Kawasan konservasi yang terdapat bangunan pemerintahan di dalamnya tetap berpeluang dikeluarkan menjadi areal penggunaan lain (APL). Walau demikian, proses ini harus mengikuti prosedur yang ada dan butuh keputusan politik bersama.
Constant menegaskan, Pemprov Papua sangat memerhatikan hal tersebut dan juga akan melakukan hal serupa di kawasan lain. Menurut Constant, pemerintah akan membicarakan hal ini dengan pemerintah kabupaten hasil pemekaran bersama tokoh masyarakat setempat.
“Suku-suku yang ada di sana harus diajak bicara. Bupati bisa berganti, tetapi suku itu tetap ada turun-temurun,” ujar Constant. [Hamzirwan-R Adhi KSP/KOMPAS]
»»
Pembalakan Liar Masih Ancam Papua
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Berikan komentar anda mengenai posting ini..!!